Rabu, 27 Januari 2010

SIHIR, PARANORMAL DAN PRAKTEK PERDUKUNAN DALAM ISLAM

Fiqih Quran & Hadist

Indonesia adalah tempat yang subur untuk perdukunan. Negara ini seolah terbelenggu dengan perdukunan. Jual tanah saja harus pergi ke dukun, mau usahanya lancar, mau jabatannya bertahan, mau punya wibawa dan ditakuti bawahan harus pergi ke dukun. Walaupun mungkin sebutan dukun sekarang kalah populer dengan paranormal atau pensehat spiritual, ditambah lagi oleh mitos-mitos yang berkembang di nusantara ini, seperti orang hamil harus membawa gunting, angka 13 adalah angka sial, diperparah lagi oleh tayangan mistik dan klenik yang berkembang pesat di dunia pertelevisian kita, dan ironinya mendapat sambutan yang luar biasa dari masyarakat. Dari data yang ada, sekitar 149 tayangan misteri di TV kita. Di kantor terkumpul jimat dari harga yang terendah Rp 100 dan termahal Rp 1 milyar.

Dunia sihir dan perdukunan erat kaitannya dengan dunia jin dan setan, karenanya pada kesempatan ini perlu kiranya kita menyimak pandangan Islam tentang dunia jin.

Prinsip-prinsip Islam Mengenai Jin dan Setan

1. Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah sumber kita dalam mengenal masalah ghaib. Setiap informasi tentang yang ghaib selain dari keduanya harus kita tolak, kecuali yang selaras dengan ajaran Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Allah Swt berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertaqwalah kepada Allah.Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. 49:1)

2. Allah menciptakan jin dan manusia untuk satu tujuan yakni mengabdi kepada Allah Swt.

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. (QS. 51:56)

3. Jin diciptakan dari percikan api neraka sebelum manusia diciptakan.

“Dia menciptakan jin dari nyala api.” (QS. 55:15)

4. Iblis adalah keturunan jin yang membangkang dari perintah Allah, Dia bukan golongan malaikat.

Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat:"Sujudlah kamu kepada Adam", maka sujudlah mereka kecuali iblis. Dia adalah dari golongan jin, maka ia mendurhakai perintah Tuhannya. Patutkah kamu mengambil dia dan turunan-turunannya sebagai pemimpin selain daripada-Ku, sedang mereka adalah musuhmu Amat buruklah iblis itu sebagai pengganti (Allah) bagi orang-orang yang zalim. (QS. 18:50)

5. Syetan adalah sebutan bagi pembangkang dari golongan jin dan manusia, sebagai musuh dari setiap orang beriman.

Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkan mereka dan apa yang mereka ada-adakan. (QS. 6:112)

6. Jin adalah ummat seperti manusia, ada yang baik dan ada yang jahat, ada yang mukmin dan ada yang kafir, agama mereka berbeda-beda, tetapi mereka harus tetap mengikuti syariat.

Dan sesungguhnya di antara kami ada orang-orang yang saleh dan di antara kami ada (pula) yang tidak demikian halnya. Adalah kami menempuh jalan yang berbeda-beda. (QS. 72:11)

7. Jin bisa melihat manusia, sedangkan manusia tidak bisa melihat jin.

Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh syaitan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapakmu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya 'auratnya. Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan syaitan-syaitan itu pemimpin-pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman. (QS. 7:27)

8. Jin tidak dapat menampakkan diri kepada manusia, tetapi jika yang muncul sejenis sesuatu yang menakutkan seperti kuntilanak, genderuwo, dsb maka itu adalah setan yang ingin menakut-nakuti manusia tapi bukan asli jin.

(Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya. (QS. 72:27)

9. Setiap manusia diikuti oleh dua qarin dari jin dan dari malaikat. Qarin dari malaikat selalu membisikkan kebaikan, sebaliknya qarin dari jin selalu membisikkan kejelakan dan kejahatan. Sedangkan qarin dari jin yang mendampingi Rasulullah Saw telah masuk Islam.

Tidaklah salah seorang dari kalian, kecuali telah didampingi oleh qarinnya dari golongan jin dan malaikat. Para sahabat bertanya, “Dan engkau juga ya Rasulullah/” Rasulullah menjawab, “Demikian juga dengan saya. Tetapi Allah telah membantu saya atasnya. Maka dia masuk Islam. Dan ia tidak memerintahkan saya kecuali dalam kebaikan” (HR. Muslim)

10. Memohon perlindungan kepada jin adalah haram, seperti minta perlindungan terhadap dirinya, kesehatannya, keselamatannya, hartanya, rumahnya, kantornya, kebunnya, kenadaraannya, jabatannya, usahanya, agamanya, dsb.

Dan bahwasannya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan. (QS. 72:6)

11. Jin bisa merasuk ke dalam jasad manusia dan mengalir dalam tubuh manusia melalui aliran darah. Sebagaimana Sabda Rasulullah Saw:

“Sesungguhnya syaitan itu mengalir dari tubuh manusia melalui jalan darah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

12. Syetan atau jin pembangkang tidak akan mampu menguasai orang yang beriman dan selalu bertawal kepada Allah.

Sesungguhnya syaitan itu tidak ada kekuasannya atas orang-orang yang beriman dan bertawakkal kepada Tuhannya. (QS. 16:99)

13. Orang yang beriman dan tidak mencampuri keimanan mereka dengan syirik, mereka mendapat jaminan keamanan dan jaminan petunjuk dari Allah.

Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. 6:82)

14. Gangguan jin terhadap manusia dengan merasuk ke dalam jasadnya adalah tindakan zhalim. Terapinya adalah dengan cara membersihkan keimanannya, meluruskan ibadahnya dengan memperbanyak dzikir.

15. Terapi secara syar’i adalah bagian dari jihad fi sabilillah melawan syaitan maka kita haruslah tetap istiqamah di atas jalan yang haq.

Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu, maka anggaplah ia musuh(mu), karena sesungguhnya syaitan-syaitan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala. (QS. 35:6)

Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah, dan orang-orang yang kafir berperang di jalan thaghut, sebab itu perangilah kawan-kawan syaitan itu, karena sesungguhnya tipu daya syaitan itu adalah lemah. (QS. 4:76)

Demikianlah makalah yang sederhana ini, mudah-mudahan bisa bermanfaat bagi kita semua dalam rangka menegakkan amar ma’ruf nahyi munkar dan menjaga kemurnian aqidah kita.

Sabtu, 16 Januari 2010

12. Materi Tambahan tentang TASAWUF

DISIPLIN KEILMUAN ISLAM TRADISIONAL: TASAWUF
(Letak dan Peran Mistisisme dalam Penghayatan Keagamaan Islam)
oleh Prof.Dr. Nurcholish Madjid, MA (Alm.)

Dalam sebuah hadits, Rasulullah s.a.w. disebutkan sebagai
bersabda bahwa masa kenabian (nubuwwah) dan rahmat akan
disusul oleh masa kekhalifahan kenabian (Khilafat nubuwwah)
dan rahmat, sesudah itu masa kerajaan (mulk) dan rahmat,
kemudian masa kerajaan (saja).1 Ibn Taymiyyah menjelaskan
bahwa masa "kenabian dan rahmat" itu ialah, tentu saja, masa
Nabi sendiri. Sedangkan masa "kekhalifahan kenabian dan
rahmat" berlangsung selama tiga puluh tahun sesudah wafat
Nabi s.a.w., yaitu sejak permulaan kekhalifahan Abu Bakr,
disusul Umar ibn al-Khathtab, kemudian Utsman ibn 'Affan,
dan akhirnya 'Ali ibn Abi Thalib. Mereka adalah para
pengganti (khalifah) Nabi yang kelak dikenal sebagai para
khalifah yang berpetunjuk (al-khulafa al-rasyidun).
Sedangkan masa para khalifah yang empat itu adalah masa
"kerajaan dan rahmat."

Dari masa "kerajaan dan rahmat" itu, menurut Ibn Taymiyyah,
yang terbaik ialah masa "Raja" Mu'awiyah ibn Abi Sufyan di
Damaskus. Ibn Taymiyyah mengatakan bahwa di antara raja-raja
tidak ada yang menjalankan kekuasaan sebaik Mu'awiyah.
Dialah sebaik-baik raja Islam, dan tindakannya lebih baik
daripada tindakan para raja mana pun sesudahnya.2

Pandangan Ibn Taymiyyah itu khas paham Sunni, terutama dari
kalangan mazhab Hanbali. Malah, sesungguhnya, apa pun yang
terjadi pada Mu'awiyah akan dianggap Ibn Taymiyyah sebagai
tidak bisa dipersalahkan begitu saja, karena dia adalah
seorang Sahabat Nabi. Lebih jauh, Ibn Taymiyyah masih
mempunyai alasan untuk memuji anak Mu'awiyah, yaitu "Raja"
Yazid (yang oleh kaum Syi'ah dituding sebagai paling
bertanggungjawab atas pembunuhan amat keji terhadap
al-Husayn, cucunda Nabi), karena, kata Ibn Taymiyyah, Yazid
adalah komandan tentara Islam yang pertama memerangi dan
mencoba merebut Konstantinopel, sementara sebuah hadits
menyebutkan adanya sabda Nabi: "Tentara pertama yang
menyerbu Konstantinopel diampuni (oleh Allah akan segala
dosanya)."3

Tetapi pandangan Ibn Taymiyyah itu berbeda dengan yang ada
pada banyak kelompok Islam yang lain, termasuk dari kalangan
kaum Sunni sendiri. Mereka ini berpendapat bahwa Mu'awiyah
tanpa mengabaikan jasa-jasa yang telah diperbuatnya- adalah
orang yang pertama bertanggung-jawab merubah sistem
kekhalifahan yang terbuka (pengangkatan pemimpin tertinggi
Islam me]alui pemilihan) menjadi sistem kekhalifahan yang
tertutup (pengangkatan pemimpin melalui penunjukan atau
wasiat berdasarkan pertalian darah). Ini memang bisa disebut
sistem kerajaan seperti dimaksudkan dalam hadits, tetapi
Mu'awiyah dan para penggantinya, begitu pula para penguasa
'Abbasiyah, menyebut diri mereka masing-masing Khalifah
(dari Nabi), bukan raja. Namun tetap ada suatu sistem yang
adil telah diganti dengan sistem yang kurang adil, jika
bukannya yang zalim.

Segi keadilan sistem kekhalifahan yang pertama tidak hanya
ada dalam mekanisme penggantiannya melalui pemilihan, tetapi
lebih-lebih lagi mereka itu dalam menjalankan kekuasaan dan
pemerintahan. Penyebutan para pengganti Nabi yang pertama
itu sebagai "berpetunjuk" (al-rasyidun) adalah terutama
berkenaan dengan kualitas pemerintahan mereka itu.4

Dalam pandangan banyak orang Muslim, pemerintahan masa
kekhalifahan yang pertama adalah suatu bentuk kesalehan dan
rasa keagamaan yang mendalam, sedangkan para penguasa Bani
Umayyah hanya tertarik kepada kekuasaan itu sendiri saja.
Kalaupun tidak begitu tepat untuk masa Mu'awiyah (dan 'Umar
ibn 'Abd al'Aziz) -sebagaimana argumen untuk Mu'awiyah itu
telah dikutip dari Ibn Taymiyyah di atas-penilaian serupa
itu jelas dianggap berlaku untuk keseluruhan rezim Bani
Umayyah, khususnya sejak kekuasaan Marwan ibn al-Hakam
(60-62 H/644-655 M). Apalagi Marwan ini pernah menjabat
sebagai pembantu utama Khalifah Utsman ibn 'Affan (22-35
H/644-656 M), dan diduga keras berada dibalik beberapa
kebijakan 'Utsman yang mengundang fitnah besar dalam sejarah
Islam itu. Karenanya, sejak saat itu tumbuh oposisi
keagamaan kepada rezim Damaskus, tidak saja oleh musuh
tradisional kaum Umayyah yang terdiri dari golongan Syi'ah
dan Khawarij, tetapi juga oleh golongan Sunnah, yang kaum
Umayyah ikut mendukung dan melindungi pertumbuhan awalnya.

Wujud oposisi keagamaan terhadap rezim Bani Umayyah itu yang
paling terkenal ialah yang dilakukan oleh seorang tokoh yang
amat saleh, yaitu Hasan dari Basrah (Hasan al-Bashri, wafat
728 M). Pada masa kekuasaan Abd al-Malik ibn Marwan
(memerintah 685-705 M), Hasan pernah menulis surat kepada
Khalifah, menuntut agar rakyat diberi kebebasan untuk
melakukan apa yang mereka anggap baik, sehingga dengan
begitu ada tempat bagi tanggung-jawab moral. Suratnya itu
bernada menggugat praktek-praktek zalim penguasa Umawi.
Namun Hasan dibiarkan bebas oleh pemerintah, disebabkan
wibawa kepribadiannya yang saleh dan pengaruhnya yang amat
besar kepada masyarakat luas.

TASAWUF SEBAGAI GERAKAN OPOSISI

Tidak dapat dibantah bahwa dari sekian banyak para nabi dan
rasul, Nabi Muhammad s.a.w. adalah yang paling sukses dalam
melaksanakan tugas. Ketika beliau wafat, boleh dikatakan
seluruh Jazirah Arabia telah menyatakan tunduk kepada
Madinah. Dan tidak lama setelah itu, di bawah pimpinan para
khalifah, daerah kekuasaan politik Islam dengan amat cepat
meluas sehingga meliputi hampir seluruh bagian dunia yang
saat itu merupakan pusat peradaban manusia, khususnya
kawasan inti yang terbentang dari Sungai Nil di barat sampai
Sungai Amudarya (Oxus) di timur.

Sukses luar biasa di bidang militer dan politik itu membawa
berbagai akibat yang sangat luas. Salah satunya ialah bahwa
sejak dari semula terdapat perhatian yang amat besar pada
kaum Muslim, khususnya para penguasa, pada bidang-bidang
yang menyangkut masalah pengaturan masyarakat. Maka tidaklah
mengherankan bahwa dari berbagai segi agama Islam, bagian
yang paling awal memperoleh banyak penggarapan yang serius,
termasuk penyusunannya menjadi sistem yang integral, ialah
yang berkenaan dengan hukum. Sedemikian rupa kuatnya posisi
segi hukum dari ajaran agama itu, sehingga pemahaman hukum
agama menjadi identik dengan pemahaman keseluruhan agama itu
sendiri, yaitu "fiqh" (yang makna asalnya ialah
"pemahaman"), dan jalan hidup berhukum menjadi identik
dengan ke seluruhan jalan hidup yang benar, yaitu "syari'ah"
(yang makna asalnya ialah "jalan"). Kata-kata ''syari'ah''
itu sebenarnya kurang lebih sama maknanya dengan katakata
"sabil," "shirath," "minhaj," "mansak" ("manasik"), "maslak"
("suluk") dan "thariqah" yang juga digunakan dalam al-Quran.

Sudah tentu hal tersebut tidak seluruhnya salah. Dalam suatu
masyarakat yang sering terancam oleh kekacauan (Arab:
fawdla, yakni, chaos) karena fitnah-fitnah (dimulai dengan
pembunuhan 'Utsman), dan jika masyarakat itu meliputi daerah
kekuasaan yang sedemikian luas dan heterogennya, kepastian
hukum dan peraturan, serta ketertiban dan kemanan, adalah
nilai-nilai yang jelas amat berharga. Maka kesalehan pun
banyak dinyatakan dalam ketaatan kepada ketentuan hukum, dan
perlawanan kepada penguasa, khususnya perlawanan yang
bersifat keagamaan (pious opposition), juga selalu
menyertakan tuntutan agar hukum ditegakkan.

Tetapi kesalehan yang bertumpu kepada kesadaran hukum
(betapapun ia tidak bisa diabaikan sama sekali karena
mempunyai prioritas yang amat tinggi) akan banyak berurusan
dengan tingkah laku lahiriah manusia dan hanya secara
parsial saja berurusan dengan hal-hai batiniah. Dengan
kata-kata lain, orientasi fiqh dan syari'ah lebih berat
mengarah kepada eksoterisisme, dengan kemungkinan
mengabaikan esoterisme yang lebih mendalam.

Maka demikian pula gerakan oposisi terhadap praktek-praktek
regimenter pemerintahan kaum Umawi di Damaskus. Sebagian
bentuk oposisi itu terjadi karena dorongan politik semata,
seperti gerakan oposisi orang-orang Arab Irak, karena para
penguasa Damaskus lebih mendahulukan orang-orang Arab Syria.
Tetapi sebagian lagi, justru yang lebih umum, oposisi itu
timbul karena pandangan bahwa kaum Umawi kurang "relijius."
Tokoh Hasan dari Basrah yang telah disebutkan di atas
mewakili kelompok gerakan oposisi jenis ini. Ketokohan Hasan
cukup hebat, sehingga kelompok-kelompok penentang rezim
Umayyah banyak yang mengambil ilham dan semangatnya dari
Hasan, yang dianggap pendiri Mu'tazilah (Washil ibn 'Atha,
yang dianggap pendiri Mu'tazilah, asalnya adalah murid
Hasan), begitu pula para 'ulama dengan orientasi Sunni, dan
orang-orang Muslim dengan kecenderungan hidup zuhud
(asketik). Mereka yang tersebut terakhir inilah, sejak
munculnya di Basrah, yang disebut kaum Sufi (Shufi), konon
karena pakaian mereka yang terdiri dari bahan wol (Arab:
shuf) yang kasar sebagai lambang kezuhudan mereka. Dari
kata-kata shuf itu pula terbentuk kata-kata tashawwuf
(tasawuf), yaitu, kurang lebih, ajaran kaum Sufi.

Dalam perkembangannya lebih lanjut, Tasawuf tidak lagi
bersifat terutama sebagai gerakan oposisi politik. Meskipun
semangat melawan atau mengimbangi susunan mapan da]am
masyarakat selalu merupakan ciri yang segera dapat dikenali
dari tingkah laku kaum Sufi, tetapi itu terjadi pada
dasarnya karena dinamika perkembangan gagasan kesufian
sendiri, yaitu setelah secara sadar sepenuhnya berkembang
menjadi mistisisme. Tingkat perkembangan ini dicapai sebagai
hasil pematangan dan pemuncakan rasa kesalehan pribadi,
yaitu perkembangan ketika perhatian paling utama diberikan
kepada kesadaran yang bersifat masalah historis dan politis
umat hanya secara minimal saja.

TARIK-MENARIK ANTARA SYARI'AH DAN THARIQAH

Perpisahan antara kedua orientasi keagamaan yang lahiri dan
batini itu kemudian mewujudkan diri dalam divergensi
sistem-sistem penalaran masing-masing pihak pendukungnya.
Maka dalam kedua-duanya kemudian tumbuh cabang ilmu
Keislaman yang berbeda satu dari yang lain, bahkan dalam
beberapa hal tidak jarang bertentangan. Seolah-olah hendak
berebut sumber legitimasi dari al-Qur'an, maka sebagaimana
orientasi keagamaan eksoteris yang bertumpu kepada
masalah-masalah kehukuman itu mengklaim sebagai paham
keagamaan (fiqh) dan jalan kebenaran (syari'ah) par
excellence, orientasi keagamaan esoteris yang bertumpu
kepada masalah pengalaman dan kesadaran ruhani pribadi itu
juga mengklaim diri sebagai pengetahuan keagamaan (ma'rifah)
dan jalan menuju kebahagiaan (thariqah) par excellence.


Akibatnya, polemik dan kontroversi antara keduanya pun tidak
selamanya bisa dihindari. Ibn Taymiyyah, misalnya,
melukiskan pertentangan antara orientasi eksoteris dari kaum
fiqh dengan orientasi esoteris dari kaum sufi sebagai serupa
dengan pertentangan antara kaum Yahudi dan kaum Kristen.
Dengan terlebih dahulu mengutip firman Allah yang artinya,
"Kaum Yahudi berkata, 'Orang-orang Kristen itu tidak ada
apa-apanya,' dan kaum Kristen berkata, 'Orang-orang Yahudi
itu tidak ada apa-apanya'"5 Ibn Taymiyyah mengatakan:

"Anda dapatkan bahwa banyak dari kaum Fiqh, jika
melihat kaum Sufi dan orang-orang yang beribadat
(melulu), akan memandang mereka ini tidak ada
apa-apanya, dan tidak mereka perhitungkan kecuali
sebagai orang-orang bodoh dan sesat, sedangkan dalam
tarekat mereka itu tidak berpegang kepada ilmu serta
kebenaran sedikit pun. Dan Anda juga dapatkan banyak
dari kaum Sufi serta orang-orang yang menempuh hidup
sebagai faqir tidak menganggap apa-apa kepada Syari'ah
dan ilmu (hukum); bahkan mereka menganggap bahwa orang
yang berpegang kepada Syari'ah dan ilmu (hukum) itu
terputus dari Allah, dan bahwa para penganutnya tidak
memiliki apa-apa yang bermanfaat di sisi Allah."6

Ibn Taymiyyah tidak bermaksud menyalahkan salah satu dari
keduanya, juga tidak hendak merendahkan sufi, sekalipun ia,
sebagai seorang penganut mazhab Hanbali, sangat berat
berpegang kepada segi-segi eksoteris Islam seperti diwakili
dalam Syari'ah. Karena itu, Ibn Taymiyyah mengatakan,

"Yang benar ialah bahwa apa pun yang berdasarkan Kitab
dan Sunnah pada kedua belah pihak itu adalah benar. Dan
apa pun yang bertentangan dengan Kitab Sunnah pada
kedua belah pihak adalah batil."7

Tetapi terhadap pernyataan Ibn Taymiyyah ini, penyunting
kitab Iqtidla memberi catatan demikian:

"Ini dengan asumsi bahwa ajaran kesufian itu ada
kebenaran. Jika tidak, maka sebenarnya ajaran kesufian
itu pada dasarnya adalah ciptaan sesudah generasi
utama, yang dalam masa generasi itu hidup sebaik-baik
umat dan para imam kebenaran pada umat itu.
Sesungguhnya Allah, dengan Kitab-Nya dan petunjuk
Nabi-Nya s.a.w. telah membuat kaum beriman tidak
memerlukan apa yang ada dalam ajaran kesufian, yang
dianggap orang mampu melembutkan hati dan
membersihkannya."8

Dari kutipan-kutipan itu dapat didasarkan betapa
persimpangan jalan antara "kaum kebatinann (ahl al-bawathin)
dan "kaum kezahiran" (ahl al-dhawahir) dapat meningkat
kepada batas-batas yang cukup gawat. Tetapi benarkah memang
antara keduanya tidak terdapat titik pertemuan?

TASAWUF SEBAGAI OLAH RUHANI

Ketika Nabi muhammad s.a.w. disebut sebagai seorang Rasul
yang paling berhasil dalam mewujudkan misi sucinya, bukti
untuk mendukung penilaian itu ialah hal-hal yang bersifat
sosial-politis, khususnya yang dalam bentuk keberhasilan
ekspansi-ekspansi militer. Dan Nabi Muhammad s.a.w. sama
dengan beberapa Nabi yang lain seperti Musa dan Dawud a.s.
adalah seorang "Nabi Bersenjata" (Armed Prophet),
sebagaimana dikatakan oleh sarjana sosiologi terkenal, Max
Weber. Karena kenyataan itu, ada sementara ahli yang hendak
mereduksikan misi Nabi Muhammad s.a.w. sebagai tidak lebih
daripada suatu gerakan reformasi sosial, dengan
program-program seperti pengangkatan martabat kaum lemah
(khususnya kaum wanita dan budak), penegakan kekuasaan
hukum, usaha mewujudkan keadilan sosial, tekanan kepada
persamaan umat manusia (egalitarisme), dan lain-lain. Dalam
pandangan serupa itu, Nabi Muhammad s.a.w. tidak bisa
disamakan dengan Nabi 'Isa al-Masih, karena ajaran Nabi
Muhammad tidak banyak mengandung kedalaman keruhanian
pribadi. Tetapi Nabi Muhammad s.a.w. lebih mirip dengan Nabi
Musa a.s. dan para rasul dari kalangan anak turun Nabi
Ya'qub (Isra'il), yang mengajarkan tentang betapa pentingnya
berpegang kepada hukum-hukum Taurat (Talmudic Law).

Bahwa Nabi Muhammad s.a.w membawa reformasi sosial yang
monumental kiranya sudah jelas. Al-Qur an sendiri mengaitkan
keimanan serta penerimaan seruan Nabi dengan usaha reformasi
dunia (ishlah al-ardl). Tetapi di berbagai tempat dalam
al-Qur an juga disebutkan bahwa tugas reformasi dunia itu
tidak hanya dipunyai oleh Nabi Muhammad, melainkan juga oleh
para nabi yang lain.9 Dan Nabi Muhammad memang telah
melaksanakannya dengan sukses luar biasa. Salah satu
pengakuan yang jujur dari pihak luar Islam atas sukses Nabi
dalam membawa reformasi dunia ini ialah yang diberikan oleh
Michael H. Hart. Dalam bukunya yang memuat urutan peringkat
seratus orang yang paling berpengaruh dalam sejarah umat
manusia, Hart menempatkan Nabi Muhammad sebagai manusia
nomor satu yang paling berpengaruh. Ia menegaskan:

"Jatuhnya pilihan saya kepada Nabi Muhammad dalam
urutan pertama daftar Seratus Tokoh yang berpengaruh di
dunia mungkin mengejutkan sementara pembaca dan mungkin
jadi tanda tanya sebagian yang lain. Tapi saya
berpegang kepada keyakinan saya, dialah Nabi Muhammad
satu-satunya manusia dalam sejarah yang berhasil meraih
sukses-sukses luar biasa ditilik dari ukuran agama
maupun ruang lingkup duniawi."10

Namun disamping itu al-Qur'an juga banyak menegaskan tentang
pentingnya orientasi keruhanian yang bersifat ke dalam dan
mengarah kepada pribadi. Justru sudah menjadi kesadaran para
sarjana Islam sejak dari masa-masa awal bahwa Islam adalah
agama pertengahan (wasath) antara, di satu pihak, agama
Yahudi yang legalistik dan banyak menekankan orientasi
kemasyarakatan dan, di pihak lain, agama Kristen yang
spiritualistik dan sangat memperhatikan kedalaman olah serta
pengalaman rohani serta membuat agama itu lembut. Seperti
dikatakan Ibn Taymiyyah, "Syari'ah Taurat didominasi oleh
ketegaran, dan Syari'ah Injil didominasi oleh kelembutan;
sedangkan Syari'ah al-Qur an menengahi dan meliputi keduanya
itu."11

Maka sebagai bentuk pertengahan dan sekaligus antara kedua
agama pendahuluannya itu, Islam mengandung ajaran-ajaran
hukum dengan orientasi kepada masalah-masalah tingkah laku
manusia secara lahiriah seperti pada agama Yahudi, tapi juga
mengandung ajaran-ajaran keruhanian yang mendalam seperti
pada agama Kristen. Bahkan sesungguhnya antara keduanya itu
tidak bisa dipisahkan, meskipun bisa dibedakan. Sebab ketika
orang Muslim dituntut untuk tunduk kepada suatu hukum
tingkah laku lahiriah, ia diharapkan, malah diharuskan,
menerimanya dengan ketulusan yang terbit dari lubuk hatinya.
Ia harus merasakan ketentuan hukum itu sebagai sesuatu yang
berakar dalam komitmen spiritualnya. Kenyataan ini tercermin
dalam susunan kitab-kitab fiqh, yang selalu dimulai dengan
bab pensucian (thaharah) lahir, sebagai awal pensucian
batin.

Walaupun begitu, tetap ada kemungkinan orang mengenali mana
yang lebih lahiriah, dan mana pula yang batiniah.
Sebenarnya, sudah sejak zaman Rasulullah s.a.w. sendiri,
terdapat kelompok para sahabat Nabi yang lebih tertarik
kepada hal-hal yang bersifat lebih batiniah itu.
Disebut-sebut, misalnya, kelompok ahl al-shuffah, yaitu
sejumlah sahabat yang memilih hidup sebagai faqir, dan
sangat setia kepada masjid. Tidak heran bahwa kelompok ini,
dalam literatur kesufian, sering diacu sebagai teladan
kehidupan saleh dikalangan para sahabat.

Al-Qur'an sendiri memuat berbagai firman yang merujuk kepada
pengalaman spritual Nabi. Misalnya, lukisan tentang dua kali
pengalaman Nabi bertemu dan berhadapan dengan Malaikat
Jibril dan Allah. Yang pertama ialah pengalaman beliau
ketika menerima wahyu pertama di gua Hira, di atas Bukit
Cahaya (Jabal Nur). Dan yang kedua ialah pengalaman beliau
dengan perjalanan malam (isra ) dan naik ke langit (mi'raj)
yang terkenal itu. Kedua pengalaman Nabi itu dilukiskan
dalam Kitab Suci demikian:

Demi bintang ketika sedang tenggelam. Sahabatmu sekalian itu
tidaklah sesat ataupun menyimpang. Dan ia tidaklah berucap
karena menurut keinginan. Itu tidak lain adalah ajaran yang
diwahyukan. Diajarkan kepadanya oleh Jibril yang kuat
perkasa. Yang bijaksana, dan yang telah menampakkan diri
secara sempurna. Yaitu ketika ia berada di puncak cakrawala.
Kemudian ia pun mendekati, dan menghampiri. Hingga sejarak
kedua ujung busur panah, atau lebih dekat lagi. Lalu Tuhan
wahyukan kepada hamba-Nya wahyu yang dikehendaki. Tidaklah
jiwa (Nabi) mendustakan yang dilihatnya sendiri. Apakah kamu
semua akan membantahnya tentang yang ia saksikan? Padahal
sungguh ia telah menyaksikan pada lain kesempatan. Yaitu
didekat Pohon Lotus, di alam penghabisan Di sebelahnya ada
Surga tempat kediaman. Ketika Pohon Lotus itu diliputi
cahaya tak terlukiskan. Penglihatan Nabi tidak bergoyah, dan
tidak pula salah arah. Sungguh ia telah menyaksikan
tanda-tanda Tuhannya yang Agung tak terkira.12

Bagi kaum Sufi, pengalaman Nabi dalam Isra-Mi'raj itu
adalah sebuah contoh puncak pengalaman ruhani. Justru ia
adalah pengalaman ruhani yang tertinggi, yang bisa dipunyai
oleh seorang Nabi. Namun kaum Sufi berusaha untuk meniru dan
mengulanginya bagi diri mereka sendiri, dalam dimensi, skala
dan format yang sepadan dengan kemampuan mereka. Sebab inti
pengalaman itu ialah penghayatan yang pekat akan situasi
diri yang sedang berada di hadapan Tuhan, dan bagaimana ia
"bertemu" dengan Dzat Yang Maha Tinggi itu. "Pertemuan"
dengan Tuhan adalah dengan sendirinya juga merupakan puncak
kebahagiaan, yang dilukiskan dalam sebuah hadits sebagai
"sesuatu yang tak pernah terlihat oleh mata, tak terdengar
oleh telinga, dan tak terbetik dalam hati manusia." Sebab
dalam "pertemuan" itu, segala rahasia kebenaran "tersingkap"
(kasyf) untuk sang hamba, dan sang hamba pun lebur dan sirna
(fana ) dalam Kebenaran. Maka Ibn 'Arabi, misalnya,
melukiskan "metode" atau thariqah-nya sebagai perjalanan ke
arah penyingkapan Cahaya Ilahi, melalui pengunduran diri
(khalwah) dari kehidupan ramai.13

MASALAH KEABSAHAN TASAWUF

Membicarakan keabsahan Tasawuf dapat mengisyaratkan
pengambilan sikap penghakiman (judgment) dengan implikasi
yang serius, karena menyangkut masalah sampai dimana kita
bisa dan berhak menilai pengalaman keruhanian seseorang.
Telah disinggung bahwa mistisisme atau pengalaman mistis,
tidak terkecuali yang ada pada kaum Sufi, selalu mengarah
kedalam, dan dengan sendirinya bersifat pribadi. Oleh karena
itu pengalaman mistis hampir mustahil dikomunikasikan kepada
orang lain, dan selamanya akan lebih merupakan milik pribadi
si empunya sendiri. Oleh karena itu sering terjadi adanya
tingkah laku eksentrik dan "di luar garis," dan orang lain,
lebih-lebih sesama Sufi sendiri, akan memandangnya, dengan
penuh pengertian, jika tidak malah kekaguman. Berbagai
cerita tentang "wali" yang berkelakuan aneh, seperti banyak
terdapat di berbagai negeri dan daerah Islam, adalah
kelanjutan dari persepsi mistis ini.

Karena itu, bagi mereka yang lebih melihat diri mereka
sebagai pemegang ajaran standar akan cepat mengutuk tingkah
laku aneh itu sebagai tidak lebih daripada keeksentrikan
yang absurd tanpa makna, jika bukannya kesintingan atau
bahkan tarikan syetan yang sesat.

Kesesatan yang paling gawat, di mata ahl al-dhawahir, ialah
yang ada dalam kawasan teori dan pandangan dasar, yang
mengarah kepada paham "kesatuan eksistensial" (wahdat
al-wujud). Selain berbagai tokoh yang sudah dikenal umum,
seperti al-Hallaj dan Syekh Siti Jenar, penganut dan
pengembang pandangan itu yang paling kaya namun "liar" ialah
Ibn 'Arabi. Dalam bukunya, Fushush al-Hikam, Ibn 'Arabi
berdendang dalam sebuah syair yang bernada "gurauan" dengan
Tuhan:

Maka Ia (Tuhan)-pun memujiku, dan aku memuji-Nya,
dan Ia menyembahku, dan aku pun menyembah-Nya.
Dalam keadaan lahir aku menyetujui-Nya dan
dalam keadaan hakiki aku menentang-Nya.
Maka Ia pun mengenaliku namun aku tak mengenali-Nya
lalu aku pun mengenali-Nya, maka aku pun menyaksikan-Nya
Maka mana mungkin Ia tiada perlu,
padahal aku menolong-Nya dan membahagiakan-Nya?
Untuk inilah Kebenaran mewujudkan aku,
sebab aku mengisi ilmu-Nya dan mewujudkan-Nya
Begitulah, sabda telah datang kepada kita,
dan telah dinyatakan dalam diriku segala maksudnya.14

Ibn Arabi memang mengaku sebagai "kutub para wali" (quthb
al-awliya), bahkan pemungkasnya. Ia dituding oleh para ulama
Syari'ah sebagai yang paling bertanggungjawab atas
penyelewengan-penyelewengan dalam Islam, khususnya yang
terjadi di kalangan kaum Sufi. Namun bagi para pengikutnya
dia adalah al-syaikh al-akbar (guru yang agung).

Kesulitan memahami literatur kesufian, seperti karya-karya
Ibn Arabi ialah bahwa pengungkapan ide dan ajaran didalamnya
sering menggunakan kata kiasan (matsal) dan pelambang
(ramz). Karena itu ungkapan-ungkapan yang ada harus dipahami
dalam kerangka interpretasi metaforis atau tafsir batini
(ta'wil). Dan adalah ta'wil itu memang yang menjadi metode
pokok mereka dalam memahami teks-teks suci, baik Kitab Suci
maupun Hadits Nabi.

Maka meskipun mereka menggunakan metode ta'wil mereka
sebenarnya tetap berpegang kepada sumber-sumber suci itu.
Hanya saja, sejalan dengan metode mereka, mereka tidak
memahami sumber-sumber itu menurut bunyi lahiriah
tekstualnya. Inilah pangkal kontroversi mereka dengan kaum
Syari'ah. Maka tidak jarang kaum Syari'ah mengutuk mereka
sebagai sesat, seperti yang dilakukan oleh Ibn Taymiyyah
terhadap Ibn Arabi.

Tapi, dalam semangat empatik, mungkin justru pengalaman
mistis kaum Sufi harus dipandang sebagai bentuk pengalaman
keagamaan yang sejati. Seperti pengalaman Nabi dalam Mi'raj
yang tak terlukiskan, sehingga karenanya juga tak
terkomunikasikan, pengalaman mistis kaum Sufi pun
sesungguhnya berada di luar kemampuan rasio untuk
menggambarkannya. Kaum Sufi gemar mengatakan bahwa untuk
bisa mengetahui apa hakikat pengalaman itu, seseorang hanya
harus mengalaminya sendiri. Mereka mempunyai perbendaharaan
yang kaya untuk melukiskan kenyataan itu. Misalnya, tidak
mungkinlah menjelaskan rasa manisnya madu jika orang tidak
pernah mencicipinya sendiri.

Pengalaman mistis tertinggi menghasilkan situasi kejiwaan
yang disebut ekstase. Dalam perbendaharaan kaum Sufi,
ekstase itu sering dilukiskan sebagai keadaan mabuk kepayang
oleh minuman kebenaran. Kebenaran (al-haqq) digambarkan
sebagai minuman keras atau khamar. Bahkan untuk sebagian
mereka minuman yang memabukkan itu tidak lain ialah apa yang
mereka namakan "dlamir al-sya'n," yaitu kata-kata "an" yang
berarti "bahwa" dalam kalimat syahadat pertama, Asyhadu an
la ilaha illa Llah" (Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan
selain Allah). Pelukisan ini untuk menunjukkan betapa
intensenya mereka menghayati Tauhid, sehingga mereka tidak
menyadari apa pun yang lain selain Dia Yang Maha Ada.

Karena itu, suatu pengalaman mistis mungkin akan hanya
sekali terjadi dalam hidup seorang, tanpa bisa diulangi.
Inilah diumpamakan dengan turunnya "malam kepastian" (laylat
al-qadar), yang dalam al-Qur'an disebutkan sebagai lebih
baik dari seribu bulan. Artinya, seorang yang mengalami satu
momen menentukan itu, ia akan terpengaruh oleh pesan yang
dibawa seumur hidupnya, yaitu sekitar seribu bulan atau
delapan puluh tahun. Karena itu meskipun suatu pengalaman
mistis sebagai suatu kejadian hanya bersifat sesaat
(transitory), namun relevansinya bagi pembentukan budi
pekerti akan bersifat abadi. Sebab dalam pengamalan intense
sesaat itu orang berhasil menangkap suatu kebenaran yang
utuh. Kesadaran akan kebenaran yang utuh itulah yang
menimbulkan rasa bahagia dan tenteram yang mendalam, suatu
euphoria yang tak terlukiskan. Dan itulah kemabukan mistis.
Kemudian, suatu hal yang amat penting ialah bahwa euphoria
itu sekaligus disertai dengan kesadaran akan posisi, arti,
dan peran diri sendiri yang proporsional, yaitu "tahu diri"
(ma'rifat al-nafs)15 yang tidak lebih daripada seorang
makhluk yang harus tunduk-patuh dan pasrah bulat (islam)
kepada Sang Maha Pencipta (al-Khaliq). Maka seorang Sufi,
karena kepuasannya akan pengetahuan tentang Kebenaran, tidak
banyak menuntut dalam hidup ini. Ia puas (qana'ah) dan lepas
dari harapan kepada sesama makhluk. Ia bebas, karena ia
merasa perlu (faqir) hanya kepada Allah yang dapat ia temui
di mana saja melalui ibadat dan dzikir. Ia menghayati
kehadiran Tuhan dalam hidupnya melalui apresiasi akan
nama-nama (kualitas-kualitas) Tuhan yang indah (al-asma
al-husna), dan dengan apresiasi itu ia menemukan keutuhan
dan keseimbangan dirinya

Hidup penuh sikap pasrah itu memang bisa mengesankan
kepasifan dan eskapisme. Tapi sebagai dorongan hidup
bermoral, pengalaman mistis kaum Sufi sebetulnya merupakan
suatu kedahsyatan. Karena itulah ajaran Tasawuf juga disebut
sebagai ajaran akhlak. Dan akhlak yang hendak mereka
wujudkan ialah yang merupakan "tiruan" akhlak Tuhan, sesuai
dengan sabda Nabi yang mereka pegang teguh, "Berakhlaqlah
kamu semua dengan akhlaq Allah."

Catatan kaki:
-------------
1 Hadits ini dikutip oleh Ibn Taymiyyah dalam kitabnya,
Minhaj al Sunnah fi Naqdl kalam al-Syi'ah wa al-Qadariyyah,
4 jilid, (Riyadl: Maktab al-Riyadl al-Hadits, tanpa tahun),
jilid IV, h. 121.
2 Ibid
3 Sebuah hadits diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam kita
shahihnya, dari Abdullah ibn Umar, dikutip dan dijabarkan
oleh Ibn Taymiyyah. (Ibid., jilid II, h. 329).
4 Pandangan yang cukup umum di kalangan orang-orang Muslim
ini menjadi dasar sarjana sosiologi terkenal,
Robert N. Bellah, untuk membuat penilaian -sebagaimana dalam
kesempatan lain telah dikemukakan- bahwa Islam mengajarkan
sistem politik yang terbuka dan "moderen."
Tetapi karena prasarana sosialnya pada bangsa Arab dan
dunia saat itu belum siap, maka sistem kekhalifahan Islam
itu tidak bertahan lama, dan diganti dengan sistem "kerajaan
Bani Umayyah yang menurut Bellah tidak lain ialah penghidupan
kembali sistem tribalisme Arab yang telah ada sebelum
kedatangan Islam. Maka Bellah dapat memahami mengapa
orang-orang Muslim moderen, dalam mencari acuan untuk
cita-cita politik mereka, senantiasa merujuk kepada masa
kekhalifahan pertama sebagai model. (Lihat Robert N. Bellah,
Beyond Belief [New York: Harper & Row, 1976], hh. 150-51).
5 Q., s. al-Baqarah/2:13.
6 Ibn Taymiyyah, Iqtidla al-Shirath al-Mustaqim
(Beirut: Dar al-Fikr, tanpa tahun), h. 10.
7 Ibid.
8 Ibid.
9 Lihat, a.l., Q., s. al-A'raf/7:56 dan 85.
10 Michael H. Hart, The 100, a Ranking of the Most Influential
Persons in History, terjemah Indonesia oleh H. Mahbub Djunaidi,
"Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah",
(Jakarta: Pustaka Jaya, 1986), h. 27.
11 Ibn Taymiyyah, Al-Jawab al-Shahih li Man Baddala Din al-Masih,
4 jilid, (Beirut [?]: Mathabi' al-Majd al-Tijariyyah,
tanpa tahun), jilid 3, h. 240.
12 Q., s. al-Najm/53:1-18.
13 Salah satu buku Muhy al-Din ibn Arabi berjudul,
dalam bahasa Arab, Risalat al-Anwar fi ma Yumnah
Shahib al-Khalwah min al-Asrar (Risalah Cahaya tentang
Berbagai Rahasia yang dikaruniakan kepada orang yang
melakukan pengunduran diri (khalwah), diterjemahkan ke
dalam bahasa Inggris oleh Rabia Terri Harris, Journey to
the Lord of Power (New York: Inner Traditions International,
1981).
14 Muhy al-Din ibn Arabi, Fushush al-Hikam, h. 83. Cf
terjemahan Inggris oleh R.W.J. Austin, The Bezels of Wisdom
(New York: Paulist Press, 1980), h. 95.
15 Karena itu di kalangan kaum Sufi terkenal ungkapan dalam
bahasa Arab, "Man arafa nafsahu fa qad 'arafa Rabbahu"
(Barangsiapa tahu dirinya maka ia akan tahu Tuhannya).
Karena pengetahuan tentang diri secara proporsional adalah
indikasi pengetahuan akan Kebenaran Yang Bulat.

TANYA JAWAB tentang TASAWUF

Tanya :
Benarkah tasawuf tidak ada pada zaman Rasulullah saw? Kalau tidak ada, berarti
bid'ah kan?
Mohon dijelaskan pengertian tasawuf!

Jawab:

Abdul Hasan Al Fusyandi, seorang tabi'in yang hidup sezaman dengan Hasan Al
Bisri (w. 110H./728 M.) mengatakan, "Pada zaman Rasulullah saw., tasawuf ada
realitasnya, tetapi tidak ada namanya. Dan sekarang, ia hanyalah sekedar nama,
tetapi tidak ada realitasnya."

Pernyataan ulama dari kalangan tabi'in ini bisa menjadi acuan untuk
menjawab pertanyaan Anda. Memang benar, tidak ada istilah tasawuf pada zaman
Rasulullah saw. Namun, realitasnya ada dalam kehidupan dan ajaran Rasulullah
saw. seperti sikap Zuhud, Qona'ah, Taubat, Rido, Sabar, dll. Kumpulan dari
sikap-sikap mulia seperti ini dirangkum dalam sebuah nama yaitu Tasawuf.
Oleh sebab itu, ketika Imam Ahmad menulis buku tentang tasawuf, beliau
tidak memberi nama kitab itu dengan Kitaab At-Tasawuf. Akan tetapi, beliau
memberi nama kitab itu dengan Kitaab Az-Zuhud (Kitab tentang Zuhud). Kalau kita
cermati isi kitab tersebut, hampir seluruh isinya membicarakan
persoalan-persoalan yang ada dalam kajian tasawuf.
Kita tidak perlu mempersoalkan nama, yang penting realitas atau
substansinya. Dalam mengarungi hidup, kita harus punya jiwa zuhud, qona'ah,
taubat, muraqabatullah, 'iffah, dll. Anda boleh memberi nama untuk sederet
istilah itu dengan nama Tasawuf. Namun kalau anda tidak suka dengan istilah
Tasawuf dengan alasan istilah tersebut tidak dipakai pada zaman Rasulullah saw.,
pakai saja istilah lain seperti yang digunakan Imam Ahmad yaitu ilmu zuhud. Yang
pasti, materi yang dibahas dalam ilmu zuhud dan ilmu tasawuf substansinya sama,
yang berbeda hanyalah nama.

Adapun makna Tasawuf, bisa dilacak dari asal-usulnya. Para ahli mengatakan
bahwa:

Tasawuf berasal dari kata "As-suuf" artinya bulu atau kain wol yang kasar.
Kemudian kata As-Suuf diberi akhiran "ya" (as-Suufiya) yang dinisbahkan
kepada orang yang suka memakai pakaian dari bulu binatang sebagai lambang
kesederhanaan. Lawan pakaian sutera yang merupakan simbol kemewahan. Kemudian
seseorang yang lebih mengutamakan kesederhanaan disebut "Sufi"
Tasawuf berasal dari kata "Ahl-Shuffah" yaitu sekelompok sahabat miskin yang
hijrah ke Madinah dan tidak memperoleh tempat tinggal. Sehingga Rasulullah
saw. menempatkan mereka di serambi masjid. Tempat itu dinamakan "Suffah",
sedangkan para penghuninya disebut "Ahl-Shuffah". Dari kata "Suffah" inilah
lahir kata Tasawuf
Tasawuf berasal dari bahasa Yunani, yaitu Theosophos. Theo artinya Tuhan dan
Sophos artinya hikmah. Dengan demikian Tasawuf berarti hikmah ketuhanan. Pada
umumnya yang berpendapat demikian adalah para orientalis.

Dalam perkembangan berikutnya, para ahli memberikan banyak definisi
mengenai hal ini, sehingga Annemarie Schimmel mengatakan, sulit mendefinisikan
tasawuf secara komprehensif, karena kita hanya bisa menyentuh salah satu
aspeknya saja.
Walaupun susah mencari makna yang komprehensif, namun kita perlu mengutip
salah satu pengertian tasawuf yang disampaikan seorang tokoh Sufi modern yaitu
Al Junaid Al Baghdadi (w. 289H.) yang menyebutkan, "Tasawuf adalah riyadhah
(latihan) membebaskan hati dari hayawaniyyah (sifat yang menyamai binatang) dan
menguasai sifat basyariah (kemanusiaan) untuk memberikan tempat bagi sifat-sifat
kerohanian yang suci, berpegang pada ilmu dan kebenaran, dan benar-benar
menepati janji terhadap Allah swt, dan mengikuti sunnah Rasulullah saw."

Mencermati definisi ini, bisa kita simpulkan bahwa tasawuf adalah latihan
untuk membersihkan jiwa dari sifat-sifat kebinatangan dan mengisinya dengan
akhlak mulia melalui pelaksanaan ajaran agama yang benar dengan mengikuti apa
yang disunnahkan Rasulullah saw.

Wallahu A'lam


Mohon dibaca dengan baik sebagai tamhana wawasan tentang Tasawuf...

5. Asmaul Husna (kelas X Semester Genap)






ALLAH memiliki nama-nama yang baik yang disebut dengan Asmaul Husna.
Rasulullah SAW menjelaskan bahwa al-Asma al-Husna ini jumlahnya ada 99, karena ALLAH menyukai bilangan yang ganjil.

Sesungguhnya ALLAH mempunyai sembilan puluh sembilan nama, yaitu seratus kurang satu. Barangsiapa menghitungnya, niscaya ia masuk surga. (H.R. Bukhari dan Muslim)

Sembilan puluh sembilan nama tsb menggambarkan betapa baiknya ALLAH. Nama-nama dalam Asmaul Husna ini, ALLAH sendirilah yang menciptakannya.

Dia-lah ALLAH yang Menciptakan, yang Mengadakan, yang Membentuk Rupa, yang Mempunyai Nama-Nama yang Paling baik. Bertasbih kepada-Nya apa yang ada di langit dan di bumi. Dan Dia-lah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Al-Hasyr: 24)

Sebutlah nama-nama ALLAH, dalam setiap zikir dan doa kita. Jika kita memohon diberi petunjuk, sebutlah nama Al-Hâdi (Maha Pemberi Petunjuk). Jika kita mohon diberi sifat kasih sayang, sebutlah nama Ar-Rahmân (Maha Pengasih). Semoga doa kita akan semakin makbul.
Anjuran untuk menggunakan Asmaul Husna dalam berzikir dan berdoa, diterangkan oleh ALLAH SWT dalam Al-Quran.

Hanya milik ALLAH asma-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asma-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan. (QS. Al-A'râf: 180)

Asmaul Husna hanya milik ALLAH SWT. Manusia sebagai makhluk-Nya hanya dapat memahami, mempelajari, dan meniru kandungan makna dari nama yang baik tsb dalam kehidupan sehari-hari.


Yang menjadi pembahasan kali ini adalah mengenai 10 nama saja, yaitu:
86 al-Muqsith Yang Maha Adil An-Nuur: 47
97 al-Waarits Yang Maha Mewarisi Al-Hijr: 23
92 an-Naafi' Yang Maha Pemberi Manfaat Al-Fath: 11
21 al-Baasith Yang Maha Melapangkan Ar-Ra'd: 26
38 al-Hafiizh Yang Maha Penjaga Huud: 57
55 al-Waliyy Yang Maha Melindungi An-Nisaa': 45
47 al-Waduud Yang Maha Mengasihi Al-Buruuj: 14
23 ar-Raafi' Yang Meninggikan Al-An'aam: 83
24 al-Mu'izz Yang Maha Terhormat Aali 'Imran: 26
82 al-'Afuww Yang Maha Pemaaf An-Nisaa': 99

Penjelasannya sebagai Berikut.
1. Al-Muqsith
Dia adalah Dzat yang mengambil hak orang yang teraniaya dari orang yang menganiaya. Dan
kesempurnaan-Nya adalah dengan menjadikan orang teraniaya itu merelakan perbuatan orang yang menganiayanya. Ini merupakan puncak dari sifat adil tanpa pandang bulu, dan tidak bisa dilakukan kecuali oleh Allah SWT.

Contohnya adalah hadis yang diriwayatkan dari ‘Umar bin Khaththab r.a., bahwa ketika Nabi saw. sedang duduk, tiba-tiba beliau tertawa hingga tampak giginya yang putih berseri, lalu ‘Umar bertanya: “Wahai Rasululllah, apa yang menyebabkan Tuan tertawa?”

Rasulullah menjawab: “Dua dari umatku berlutut berkata: ‘Ya Rabb, ambillah hakku dari orang yang menganiayaku ini!’

“Lalu Allah SWT berkata kepada orang yang menganiayanya itu: ‘Kembalikan kepada saudaramu semua yang kauambil darinya dengan aniaya!’

“Orang itu menjawab: ‘Ya Rabb, tidak ada lagi kebaikan yang tersisa padaku!’

“Lalu orang yang teraniaya itu berkata: ‘Ya Rabb, timpakanlah dosa-dosaku kepadanya!’

Kemudian Rasulullah saw. menangis seraya berkata: “Itulah hari yang mahadahsyat, sehingga orang perlu minta supaya dosanya ditanggungkan kepada orang lain.”

Beliau melanjutkan “Kemudian Allah berkata kepada orang yang teraniaya itu: ‘Angkatlah pandanganmu dan lihatlah ke dalam surga!’

“Lantas orang itu berkata: ‘Ya Rabb, aku melihat kota-kota terbuat dari perak dan istana-istana

terbuat dari emas dihiasi dengan permata, untuk siapakah ia gerangan? Untuk nabi yang mana, atau untuk shiddiq yang mana, atau untuk syahid yang mana?’

Allah menjawab: ‘Ia Aku berikan kepada orang yang memberikan harganya!’

“Orang itu bertanya: ‘Ya Rabb, siapakah yang mammpu membayar harganya?!’

“Allah menjawab: ‘Engkau bisa memberikan hargaanya.”

Tanya: ‘Dengan apa?’

Jawab: ‘Dengan pemberian maafmu kepada saudaraamu!’

“Orang itu berkata: ‘Ya Rabb, aku telah memaafkannnya.’

“Lalu Allah berkata: ‘Peganglah tangan saudaramu itu dan bawalah masuk bersamamu ke dalam surga.’

Kemudian Nabi saw. bersabda: “Takutlah kamu sekalian kepada Allah, dan berdamailah di antara sesama kamu, karena sesungguhnya Allah SWT kelak pada hari kiamat juga akan mendamaikan antara sesama kaum mukminin.

Khasiatnya
Barangsiapa berzikir dengan ism ini secara rutin, maka Allah akan mencegah waswas darinya.

2. Al Waarist


Al Warits ialah Dzat yang kekal sesudah segala yang maujud musnah. Dalam arti lain, Dialah yang mewarisi segala sesuatu sesudah semua penghuninya musnah. Atau, Dialah yang kembali kepada-Nya semua milik dan kerajaan ketika sudah tidak ada lagi tuntutan kerajaan bagi siapa pun.

Firman Allah:

Sesungguhnya Kami mewarisi bumi dan semua orang yang ada di atasnya … (QS Maryam: 40)

Perhatikanlah, tatkala sangkakala ditiup dan semua makhluk sudah musnah, Allah berfirman: Milik siapakah kerajaan pada hari ini? Ketika tidak ada jawaban, Dia sendiri menjawab: Milik Allah yang Mahaesa lagi Maha Mengalahkan!

Orang-orang yang memandang dengan mata hati senantiasa menyaksikan makna ayat ini dan mendengarkannya. Mereka yakin bahwa kerajaan itu hanya milik Allah sendiri, pada setiap hari, setiap saat, dan setiap detik, karena itulah Dia azali dan abadi. Hal ini dapat dicapai oleh mereka yang memahami hakikat tauhid, dan mengetahui bahwa yang tunggal perbuatannya di langit dan di bumi hanya satu.

Berakhlak dengan ism ini mengharuskan Anda menjadi warits dari apa yang telah dilakukan oleh orang-orang saleh, sebab ulama itu adalah pewaris para nabi.

Khasiatnya
Ism ini berkhasiat untuk menghilangkan kebingungan bagi orang yang berzikir dengannya.

3. 91. Adh Dharr & 92. An Nafi’


Kedua ism ini adalah ism sifat yang menunjukkan kesempurnaan kekuasaan Allah. Tidak ada kemudharatan, keemanfaatan, kejahatan, dan kebaikan kecuali dengan iradah-Nya jua.

Allah SWT berfirman:

Katakanlah, bahwa semuanya berasal dari sisi Allah.

Namun adab terhadap hak Allah itu mengharuskan agar kejahatan itu dinisbatkan kepada hamba. Sebagaimana ditunjukkan dalam firman Allah dalam mengajak manusia supaya bersikap adab terhadap hak-Nya:

Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri … (QS An Nisa’: 79)

Lihatlah adab Sayyidina Khidhir a.s. yang telah meenisbatkan keaiban kepada dirinya sendiri, sebagaimana diceritakan oleh Allah di dalam firman-Nya:

… dan aku bermaksud merusakkan bahtera itu … (QS Al Kahfi: 79)

Padahal, dari cerita sebelumnya, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa beliau melakukan itu adalah atas petunjuk dan kehendak dari Allah, seperti terungkap dalam firman Allah berikut:

… dan bukanlah aku melakukan itu menurut kemauanku sendiri … (QS Al Kahfi: 82)

Dikatakan bahwa Yang Memberi mudarat dan Yang Memberi Manfaat itu ialah Dzat yang berasal dari-Nyalah segala kebaikan, kejahatan, kemanfaatan, dan kemudaratan, dan itu semua dinisbatkan kepada Allah SWT; baik dengan perantaraan malaikat, manusia, benda-benda mati, maupun tanpa perantara. Janganlah Anda sangka bahwa racun itu sendiri yang mematikan atau mencelakakan, dan bahwa makanan itu sendiri yang mengenyangkan atau memberi manfaat, dan bahwa malaikat, manusia, setan atau makhluk lain seperti planet, bintang, dan lain-lain bisa memberikan kebaikan, kejahatan, kemanfaatan atau kemudaratan dengan dirinya sendiri. Semua itu adalah dengan sebab-sebab yang ditundukkan bagi mereka.

Ber-taqarrub dengan kedua ism ini menghendaki Anda tidak mengharapkan kemanfaatan dari selain Allah SWT dan tidak minta tolong dari kesulitan kepada selain-Nya.

Khasiatnya
Barangsiapa berzikir dengan ism Adh Dharr tiap-tiap malam Jumat sebanyak seratus kali, maka ia akan mendapatkan derajat yang dekat keapada Allah SWT. Sedangkan khasiat ism An Nafi’ adalah, bahwa jika seseorang yang sedang ‘berkumpul’ dengan istrinya berzikir dalam hatinya dengan ism ini, niscaya istrinya akan mencintainya dengan sepenuh hatinya, dan akan dikaruniai anak-anak yang saleh.

4. 21. Al-Qabidh, 22. Al-Basith


Al-Qabidh artinya Dzat yang menahan rezeki dari orang yang dikehendaki-Nya dengan cara yang dikehendaki-Nya. Sedangkan Al-Basith adalah lawannya, yaitu Dzat yang meluaskan rezeki dengan cara yang dikehendaki-Nya kepada orang yang dikehendaki-Nya.

Dikatakan bahwa Al-Qabidh ialah Dzat yang mencabut nyawa pada saat kematian; sedangkan Al-Basith ialah meluaskan bayangan bagi arwah di dalam kehidupan.

Ada pendapat lain yang mengatakan bahwa Al Qabidh ialah Dzat yang menerima sedekah dari orang-orang kaya, sedangkan Al-Basith ialah Dzat yang memberi reezeki kepada orang-orang lemah dan meluaskan rezeki kepada orang-orang kaya sehingga tidak tersisa kemelaratan, dan menahannya dari orang-orang miskin sehinggga tidak tersisa kemampuan.

Berakhlak dengan kedua ism ini adalah dengan menahan diri dari semua selain dari Dia, dan melapangkan diri dalam setiap sesuatu yang diridhai-Nya. Tidak menyusahkan orang lain dan tidak terlalu menaruh kepercayaan kepada mereka.

Khasiatnya
Barangsiapa menuliskan ism Al-Qabidh pada empat puluh iris roti selama empat puluh hari, maka ia tidak akan merasakan sakitnya penyakit. Dan khasiat ism Al-Basith adalah: jika seseorang berzikir dengannya seusai mengerjakan shalat Dhuha sebanyak sepuluh kali, sambil mengangkat kedua tangannya ke langit dan kemudian menyapukannya ke mukannya, niscaya Allah akan membukaakan baginya salah satu pintu kekayaan.

Jumat, 15 Januari 2010

Silabus dan Materi Aqidah akhlak Kelas XI

Silabus dan Materi Aqidah Akhlak kelas XI MA, dapat didownload di sini.

Silabus dan Susunan Materi Aqidah Akhlak Kelas XI

untuk Silabus dan Susunan Materi Aqidah akhlak Kelas X (Sepuluh), bisa didownload di sini.

12. Tasawuf (Kelas XI Semester Genap)

Gambaran untuk materi ini, peta Konsepnya sebagai berikut:

A. Pengertian, asal usul dan istilah-istilah dalam tasawuf
1. Pengertian Tasawuf
2. Asal Usul / Sejarah Tasawuf
3. Istilah-Istilah dalam Tasawuf

B. Fungsi dan peranan tasawuf dalam kehidupan modern
1. Karakteristik tasawuf
2. Pentingnya tasawuf
3. Hubungan tasawuf dengan akhlak

C. contoh-contoh perilaku bertasawuf

1. tokoh-tokoh dalam tasawuf
2. maqamat-maqomat dalam tasawuf

D. Menerapkan tasawuf dalam kehidupan modern

1. hikmah bertasawuf
2. Contoh orang-orang yang bertasawuf
3. Peran tasawuf dalam kehidupan modern

adapun Materinya adalah sebagai berikut:
A. Pengertian, asal usul dan istilah-istilah dalam tasawuf
1. Pengertian Tasawuf

Dalam penjelasannya, Dr. Harun Nasution menerangkan bahwa: Tidak mengherankan kalau kata sufi dan tasawuf dikaitkan dengan kata-kata Arab yang mengandung arti suci. Penulis-penulis banyak mengaitkannya dengan kata:
1. Safa dalam arti suci dan sufi adalah orang yang disucikan. Dan memang, kaum sufi banyak berusaha menyucikan diri mereka melalui banyak melaksanakan ibadat, terutama salat dan puasa.
2. Saf (baris). Yang dimaksud saf di sini ialah baris pertama dalam salat di mesjid. Saf pertama ditempati oleh orang-orang yang cepat datang ke mesjid dan banyak membaca ayat-ayat al-Qur'an dan berdzikir sebelum waktu salat datang. Orang-orang seperti ini adalah yang berusaha membersihkan diri dan dekat dengan Tuhan.
3. Ahl al-Suffah, yaitu para sahabat yang hijrah bersama Nabi ke Madinah dengan meninggalkan harta kekayaannya di Mekkah. Di Madinah mereka hidup sebagai orang miskin, tinggal di Mesjid Nabi dan tidur di atas bangku batu dengan memakai suffah, (pelana) sebagai bantal. Ahl al-Suffah, sungguhpun tak mempunyai apa-apa, berhati baik serta mulia dan tidak mementingkan dunia. Inilah pula sifat-sifat kaum sufi.
4. Sophos (bahasa Yunani yang masuk kedalam filsafat Islam) yang berarti hikmat, dan kaum sufi pula yang tahu hikmat. Pendapat ini memang banyak yang menolak, karena kata sophos telah masuk kedalam kata falsafat dalam bahasa Arab, dan ditulis dengan sin dan bukan dengan shad seperti yang terdapat dalam kata tasawuf.
5. Suf (kain wol). Dalam sejarah tasawuf, kalau seseorang ingin memasuki jalan tasawuf, ia meninggalkan pakaian mewah yang biasa dipakainya dan diganti dengan kain wol kasar yang ditenun secara sederhana dari bulu domba. Pakaian ini melambangkan kesederhanaan serta kemiskinan dan kejauhan dari dunia.

Diantara semua pendapat itu, pendapat terakhir inilah yang banyak diterima sebagai asal kata sufi. Jadi, sufi adalah orang yang memakai wol kasar untuk menjauhkan diri dari dunia materi dan memusatkan perhatian pada alam rohani. Orang yang pertama memakai kata sufi kelihatannya Abu Hasyim al-Kufi di Irak (w.150 H).


2. Asal Usul / Sejarah Tasawuf


Hakikat dan Sejarah Tasawuf

Hakikat Tasawuf Seringkali tasawuf dituduh sebagai ajaran sesat. Tasawuf dipersepsikan sebagai ajaran yang lahir dari rahim non Islam. Ia adalah ritual keagamaan yang diambil dari tradisi Kristen, Hindu dan Brahmana. Bahkan gerakan sufi, diidentikan dengan kemalasan bekerja dan berfikir. Betulkah?
Untuk menilai apakah satu ajaran tidak Islami dan dianggap sebagai terkena infiltrasi budaya asing tidak cukup hanya karena ada kesamaan istilah atau ditemukannya beberapa kemiripan dalam laku ritual dengan tradisi agama lain atau karena ajaran itu muncul belakangan, paska Nabi dan para shahabat. Perlu analisis yang lebih sabar, mendalam, dan objektif. Tidak bisa hanya dinilai dari kulitnya saja, tapi harus masuk ke substansi materi dan motif awalnya.
Tasawuf pada mulanya dimaksudkan sebagai tarbiyah akhlak-ruhani: mengamalkan akhlak mulia, dan meninggalkan setiap perilaku tercela. Atau sederhananya, ilmu untuk membersihkan jiwa dan menghaluskan budi pekerti. Demikian Imam Junaid, Syeikh Zakaria al-Anshari mendefiniskan.
Asal kata sufi sendiri ulama berbeda pendapat. Tapi perdebatan asal-usul kata itu tak terlalu penting. Adapun penolakan sebagian orang atas tasawuf karena menganggap kata sufi tidak ada dalam al-Qur\'an, dan tidak dikenal pada zaman Nabi, Shahabat dan tabi\'in tidak otomatis menjadikan tasawuf sebagai ajaran terlarang! Artinya, kalau mau jujur sebetulnya banyak sekali istilah-istilah (seperti nahwu, fikih, dan ushul fikih) yang lahir setelah periode Shahabat, tapi ulama kita tidak alergi, bahkan menggunakannya dengan penuh kesadaran.
Sejarah Tasawuf
Kenapa gerakan tasawuf baru muncul paska era Shahabat dan Tabi\'in? Kenapa tidak muncul pada masa Nabi? Jawabnya, saat itu kondisinya tidak membutuhkan tasawuf. Perilaku umat masih sangat stabil. Sisi akal, jasmani dan ruhani yang menjadi garapan Islam masih dijalankan secara seimbang. Cara pandang hidupnya jauh dari budaya pragmatisme, materialisme dan hedonisme.
Tasawuf sebagai nomenklatur sebuah perlawanan terhadap budaya materialisme belum ada, bahkan tidak dibutuhkan. Karena Nabi, para Shahabat dan para Tabi\'in pada hakikatnya sudah sufi: sebuah perilaku yang tidak pernah mengagungkan kehidupan dunia, tapi juga tidak meremehkannya. Selalu ingat pada Allah Swt sebagai sang Khaliq
Ketika kekuasaan Islam makin meluas. Ketika kehidupan ekonomi dan sosial makin mapan, mulailah orang-orang lalai pada sisi ruhani. Budaya hedonisme pun menjadi fenomena umum. Saat itulah timbul gerakan tasawuf (sekitar abad 2 Hijriah). Gerakan yang bertujuan untuk mengingatkan tentang hakikat hidup. Konon, menurut pengarang Kasf adh-Dhunun, orang yang pertama kali dijuluki as-shufi adalah Abu Hasyim as-Shufi (w. 150 H)

----
Karena tasawuf timbul dalam Islam sesudah umat Islam mempunyai kontak dengan agama Kristen, filsafat Yunani dan agama Hindu dan Buddha, muncullah anggapan bahwa aliran tasawuf lahir dalam Islam atas pengaruh dari luar.
Ada yang mengatakan bahwa pengaruhnya datang dari rahib-rahib Kristen yang mengasingkan diri untuk beribadat dan mendekatkan diri kepada Tuhan di gurun pasir Arabia. Tempat mereka menjadi tujuan orang yang perlu bantuan di padang yang gersang. Di siang hari, kemah mereka menjadi tempat berteduh bagi orang yang kepanasan; dan di malam hari lampu mereka menjadi petunjuk jalan bagi musafir. Rahib-rahib itu berhati baik, dan pemurah dan suka menolong. Sufi juga mengasingkan diri dari dunia ramai, walaupun untuk sementara, berhati baik, pemurah dan suka menolong.
Pengaruh filsafat Yunani dikatakan berasal dari pemikiran mistik Pythagoras. Dalam filsafatnya, roh manusia adalah suci dan berasal dari tempat suci, kemudian turun ke dunia materi dan masuk ke dalam tubuh manusia yang bernafsu. Roh yang pada mulanya suci itu menjadi tidak suci dan karena itu tidak dapat kembali ke tempatnya semula yang suci. Untuk itu ia harus menyucikan diri dengan memusatkan perhatian pada fllsafat serta ilmu pengetahuan dan melakukan beberapa pantangan. Filsafat sufi juga demikian. Roh yang masuk ke dalam janin di kandungan ibu berasal dari alam rohani yang suci, tapi kemudian dipengaruhi oleh hawa nafsu yang terdapat dalam tubuh manusia. Maka untuk dapat bertemu dengan Tuhan Yang Maha Suci, roh yang telah kotor itu dibersihkan dulu melalui ibadat yang banyak.
Masih dari filsafat Yunani, pengaruh itu dikaitkan dengan filsafat emanasi Plotinus. Roh memancar dari diri Tuhan dan akan kembali ke Tuhan. Tapi, sama dengan Pythagoras, dia berpendapat bahwa roh yang masuk ke dalam tubuh manusia juga kotor, dan tak dapat kembali ke Tuhan. Selama masih kotor, ia akan tetap tinggal di bumi berusaha membersihkan diri melalui reinkarnasi. Kalau sudah bersih, ia dapat mendekatkan diri dengan Tuhan sampai ke tingkat bersatu dengan Dia di bumi ini.
Paham penyucian diri melalui reinkarnasi tak terdapat dalam ajaran tasawuf. Paham itu memang bertentangan dengan ajaran al-Qur’an bahwa roh, sesudah tubuh mati tidak akan kembali ke hidup serupa di bumi. Sesudah bercerai dengan tubuh, roh pergi ke alam barzah menunggu datangnya hari perhitungan. Tapi, konsep Plotinus tentang bersatunya roh dengan Tuhan di dunia ini, memang terdapat dalam tasawuf Islam.
Dari agama Buddha, pengaruhnya dikatakan dari konsep Nirwana. Nirwana dapat dicapai dengan meninggalkan dunia, memasuki hidup kontemplasi dan menghancurkan diri. Ajaran menghancurkan diri untuk bersatu dengan Tuhan juga terdapat dalam Islam. Sedangkan pengaruh dari agama Hindu dikatakan datang dari ajaran bersatunya Atman dengan Brahman melalui kontemplasi dan menjauhi dunia materi. Dalam tasawuf terdapat pengalaman ittihad, yaitu persatuan roh manusia dengan roh Tuhan.
Kita perlu mencatat, agama Hindu dan Buddha, filsafat Yunani dan agama Kristen datang lama sebelum Islam. Bahwa yang kemudian datang dipengaruhi oleh yang datang terdahulu adalah suatu kemungkinan. Tapi pendapat serupa ini memerlukan bukti-bukti historis. Dalam kaitan ini timbul pertanyaan: sekiranya ajaran-ajaran tersebut diatas tidak ada, tidakkah mungkin tasawuf timbul dari dalam diri Islam sendiri?
Hakekat tasawuf kita adalah mendekatkan diri kepada Tuhan. Dalam ajaran Islam, Tuhan memang dekat sekali dengan manusia. Dekatnya Tuhan kepada manusia disebut al-Qur’an dan Hadits. Ayat 186 dari surat al-Baqarah mengatakan, “Jika hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka Aku dekat dan mengabulkan seruan orang yang memanggil jika Aku dipanggil.”
Kaum sufi mengartikan do’a disini bukan berdo’a, tetapi berseru, agar Tuhan mengabulkan seruannya untuk melihat Tuhan dan berada dekat kepada-Nya. Dengan kata lain, ia berseru agar Tuhan membuka hijab dan menampakkan diri-Nya kepada yang berseru. Tentang dekatnya Tuhan, digambarkan oleh ayat berikut, “Timur dan Barat kepunyaan Tuhan, maka kemana saja kamu berpaling di situ ada wajah Tuhan” (QS. al-Baqarah 115). Ayat ini mengandung arti bahwa dimana saja Tuhan dapat dijumpai. Tuhan dekat dan sufi tak perlu pergi jauh, untuk menjumpainya.
Ayat berikut menggambarkan lebih lanjut betapa dekatnya Tuhan dengan manusia, “Telah Kami ciptakan manusia dan Kami tahu apa yang dibisikkan dirinya kepadanya. Dan Kami lebih dekat dengan manusia daripada pembuluh darah yang ada di lehernya (QS. Qaf 16). Ayat ini menggambarkan Tuhan berada bukan diluar diri manusia, tetapi di dalam diri manusia sendiri. Karena itu hadis mengatakan, “Siapa yang mengetahui dirinya mengetahui Tuhannya.”
Untuk mencari Tuhan, sufi tak perlu pergi jauh; cukup ia masuk kedalam dirinya dan Tuhan yang dicarinya akan ia jumpai dalam dirinya sendiri. Dalam konteks inilah ayat berikut dipahami kaum sufi, “Bukanlah kamu yang membunuh mereka, tapi Allah-lah yang membunuh dan bukanlah engkau yang melontarkan ketika engkau lontarkan (pasir) tapi Allah-lah yang melontarkannya (QS. al-Anfal 17).
Disini, sufi melihat persatuan manusia dengan Tuhan. Perbuatan manusia adalah perbuatan Tuhan. Bahwa Tuhan dekat bukan hanya kepada manusia, tapi juga kepada makhluk lain sebagaimana dijelaskan hadis berikut, “Pada mulanya Aku adalah harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal. Maka Kuciptakan makhluk, dan melalui mereka Aku-pun dikenal.”
Disini terdapat paham bahwa Tuhan dan makhluk bersatu, dan bukan manusia saja yang bersatu dengan Tuhan. Kalau ayat-ayat diatas mengandung arti ittihad, persatuan manusia dengan Tuhan, hadits terakhir ini mengandung konsep wahdat al-wujud, kesatuan wujud makhluk dengan Tuhan.
Demikianlah ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits Nabi menggambarkan betapa dekatnya Tuhan kepada manusia dan juga kepada makhluk-Nya yang lain. Gambaran serupa ini tidak memerlukan pengaruh dari luar agar seorang muslim dapat merasakan kedekatan Tuhan itu. Dengan khusuk dan banyak beribadat ia akan merasakan kedekatan Tuhan, lalu melihat Tuhan dengan mata hatinya dan akhirnya mengalami persatuan rohnya dengan roh Tuhan; dan inilah hakikat tasawuf.


3. Istilah-Istilah dalam Tasawuf


sebelum menjelaskan lebih lanjut tentang istilah-istilah dalam Tasawuf, ada baiknya mengikuti uraian berikut ini.

Jalan yang ditempuh seseorang untuk sampai ke tingkat melihat Tuhan dengan mata hati dan akhirnya bersatu dengan Tuhan demikian panjang dan penuh duri. Bertahun-tahun orang harus menempuh jalan yang sulit itu. Karena itu hanya sedikit sekali orang yang bisa sampai puncak tujuan tasawuf. Jalan itu disebut tariqah (bahasa Arab), dan dari sinilah berasal kata tarekat dalam bahasa Indonesia. Jalan itu, yang intinya adalah penyucian diri, dibagi kaum sufi ke dalam stasion-stasion yang dalam bahasa Arab disebut maqamat -tempat seorang calon sufi menunggu sambil berusaha keras untuk membersihkan diri agar dapat melanjutkan perjalanan ke stasion berikutnya. Sebagaimana telah di sebut diatas penyucian diri diusahakan melalui ibadat, terutama puasa, shalat, membaca al-Qur’an dan dzikir. Maka, seorang calon sufi banyak melaksanakan ibadat. Tujuan semua ibadat dalam Islam ialah mendekatkan diri itu, terjadilah penyucian diri calon sufi secara berangsur.
Jelas kiranya bahwa usaha penyucian diri, langkah pertama yang harus dilakukan seseorang adalah tobat dari dosa-dosanya. Karena itu, stasion pertama dalam tasawuf adalah tobat. Pada mulanya seorang calon sufi harus tobat dari dosa-dosa besar yang dilakukannya Kalau ia telah berhasil dalam hal ini, ia akan tobat dari dosa-dosa kecil, kemudian dari perbuatan makruh dan selanjutnya dari perbuatan syubhat. Tobat yang dimaksud adalah taubah nasuha, yaitu tobat yang membuat orangnya menyesal atas dosa-dosanya yang lampau dan betul-betul tidak berbuat dosa lagi walau sekecil apapun. Jelaslah bahwa usaha ini memakan waktu panjang. Untuk memantapkan tobatnya ia pindah ke stasion kedua, yaitu zuhud. Di stasion ini ia menjauhkan diri dari dunia materi dan dunia ramai. Ia mengasingkan diri ke tempat terpencil untuk beribadat, puasa, shalat, membaca al-Qur’an dan dzikir. Puasanya yang banyak membuat hawa nafsunya lemah, dan membuat ia tahan lapar dan dahaga. Ia makan dan minum hanya untuk mempertahankan kelanjutan hidup. Ia sedikit tidur dan banyak beribadat. Pakaiannyapun sederhana. Ia menjadi orang zahid dari dunia, orang yang tidak bisa lagi digoda oleh kesenangan dunia dan kelezatan materi. Yang dicarinya ialah kebahagiaan rohani, dan itu diperolehnya dalam berpuasa, melakukan shalat, membaca al-Qur’an dan berdzikir.
Kalau kesenangan dunia dan kelezatan materi tak bisa menggodanya lagi, ia keluar dari pengasingannya masuk kembali ke dunianya semula. Ia terus banyak berpuasa, melakukan shalat, membaca al-Qur’an dan berdzikir. Ia juga akan selalu naik haji. Sampailah ia ke stasion wara’. Di stasion ini ia dijauhkan Tuhan dari perbuatan-perbuatan syubhat. Dalam literatur tasawuf disebut bahwa al-Muhasibi menolak makanan, karena di dalamnya terdapat syubhat. Bisyr al-Hafi tidak bisa mengulurkan tangan ke arah makanan yang berisi syubhat.
Dari stasion wara’, ia pindah ke stasion faqr. Di stasion ini ia menjalani hidup kefakiran. Kebutuhan hidupnya hanya sedikit dan ia tidak meminta kecuali hanya untuk dapat menjalankan kewajiban-kewajiban agamanya. Bahkan ia tidak meminta sungguhpun ia tidak punya. Ia tidak meminta tapi tidak menolak pemberian Tuhan.
Setelah menjalani hidup kefakiran ia sampai ke stasion sabar. Ia sabar bukan hanya dalam menjalankan perintah-perintah Tuhan yang berat dan menjauhi larangan-larangan Tuhan yang penuh godaan, tetapi juga sabar dalam menerima percobaan-percobaan berat yang ditimpakan Tuhan kepadanya. Ia bukan hanya tidak meminta pertolongan dari Tuhan, bahkan ia tidak menunggu-nunggu datangnya pertolongan. Ia sabar menderita.
Selanjutnya ia pindah ke stasion tawakkal. Ia menyerahkan diri sebulat-bulatnya kepada kehendak Tuhan. Ia tidak memikirkan hari esok; baginya cukup apa yang ada untuk hari ini. Bahkan, sungguhpun tak ada padanya, ia selamanya merasa tenteram. Kendatipun ada padanya, ia tidak mau makan, karena ada orang yang lebih berhajat pada makanan dari padanya. Ia bersikap seperti telah mati.
Dari stasion tawakkal, ia meningkat ke stasion ridla. Dari stasion ini ia tidak menentang percobaan dari Tuhan bahkan ia menerima dengan senang hati. Ia tidak minta masuk surga dan dijauhkan dari neraka. Di dalam hatinya tidak ada perasaan benci, yang ada hanyalah perasaan senang. Ketika malapetaka turun, hatinya merasa senang dan di dalamnya bergelora rasa cinta kepada Tuhan. Di sini ia telah dekat sekali dengan Tuhan dan iapun sampai ke ambang pintu melihat Tuhan dengan hati nurani untuk selanjutnya bersatu dengan Tuhan.
Karena stasion-stasion tersebut di atas baru merupakan tempat penyucian diri bagi orang yang memasuki jalan tasawuf, ia sebenarnya belumlah menjadi sufi, tapi baru menjadi zahid atau calon sufi. Ia menjadi sufi setelah sampai ke stasion berikutnya dan memperoleh pengalaman-pengalaman tasawuf.

Adapun istilah-isilah yang berkaitan dengan tasawuf
1. maqam / maqamat
2. fana' dan baqa
3. ittihad
4. hulul
5. wihdatul wujud
6. zuhud
7. Mahabbah

B. Fungsi dan peranan tasawuf dalam kehidupan modern
1. Karakteristik tasawuf
Berdassarkan objek dan sasarannya tasawuf dikasifikasikan menjadi tiga macam, yaitu:
a. Tasawuf Akhlaqi, yaitu Tasawuf yang sangat menekankan pada nilai-nilai etis (moral)
2. Tasawuf Amali, yaitu Tasawuf yang lebih mengutamakan kebiasaan beribadah, tujuannya agar diperoleh pengahayatan spiritual dalam setiap melakukan ibadah.
3. Tasawuf Falsafi, yaitu Tasawuf yang lebih menekankan pada masalah-masalah metafisik (sesuatu yang diluar nalar dan rasio manusia).


2. Pentingnya tasawuf
3. Hubungan tasawuf dengan akhlak

Materi Aqidah Akhlak Kelas X Semester Genap Madrasah Aliyah

5. Meningkatkan keimanan kepada Allah melalui sifat-sifat-Nya dalam asma’ul husna
1. Menguraikan 10 asmaul husna (al Muqshith, al Warits, an Nafi’, al Bashith, al Hafidz, al Waliy, al Waduud, ar Rafi’, al Mu’iz dan al ‘Afwuw)
2. Menunjukkan bukti kebenaran tanda-tanda kebesaran melalui sifat Allah dalam 10 Asmaul Husna (al Muqshith, al Warits, an Nafi’, al Bashith, al Hafidz, al Waliy, al Waduud, ar Rafi’, al Mu’iz dan al ‘Afwuw)
3. Menunjukkan perilaku orang yang mengamalkan 10 al-Asma al-Husna (al Muqshith, al Warits, an Nafi’, al Bashith, al Hafidz, al Waliy, al Waduud, ar Rafi’, al Mu’iz dan al ‘Afwuw) dalam kehidupan sehari-hari
4. Meneladani sifat-sifat Allah yang terkandung dalam 10 Asmaul Husna (al Muqshith, al Warits, an Nafi’, al Bashith, al Hafidz, al Waliy, al Waduud, ar Rafi’, al Mu’iz dan al ‘Afwuw) dalam kehidupan sehari-hari

6. Membiasakan prilaku terpuji

1. Menjelaskan pengertian dan pentingnya husnudz-dzan dan bertaubat
2. Mengidentifikasi bentuk dan contoh-contoh perilaku husnudz-dzan dan bertaubat
3. Menunjukkan nilai-nilai positif dari husnudz-dzan dan bertaubat dalam fenomena kehidupan
4. Membiasakan perilaku husnudz-dzan dan bertaubat

7. Menghindari prilaku tercela

1. Menjelaskan pengertian riya, aniaya dan diskriminasi
2. Menunjukkan nilai-nilai negatif akibat perbuatan riya, aniaya dan diskriminasi
3. Menunjukkan nilai-nilai negatif akibat perbuatan riya, aniaya dan diskriminasi
4. Membiasakan diri menghindari hal-hal yang mengarah pada perilaku riya, aniaya dan diskriminasi



Sukabumi, 7 Januari 2010
Guru Aqidah Akhlak


Mulyawan S. Nugraha, M.Ag., M.Pd
NIP. 19770507 200012 1 001

Materi Aqidah Akhlak Kelas XI Semester Genap

12. Memahami tasawuf
1. Menjelaskan pengertian, asal usul dan istilah-istilah dalam tasawuf
2. Menjelaskan fungsi dan peranan tasawuf dalam kehidupan modern
3. Menunjukkan contoh-contoh perilaku bertasawuf
4. Menerapkan tasawuf dalam kehidupan modern

13. Membiasakan perilaku terpuji
1. Menjelaskan pengertian dan pentingnya adil, ridha, amal shaleh, persatuan dan kerukunan
2. Mengidentifikasi perilaku orang yang berbuat adil, ridha, amal shaleh, persatuan dan kerukunan
3. Menunjukkan nilai-nilai positif dari adil, ridha, amal shaleh, persatuan dan kerukunan dalam fenomena kehidupan
4. Membiasakan perilaku adil, ridha, amal shaleh, persatuan dan kerukunan dalam kehidupan sehari-hari

14. Membiasakan perilaku terpuji
1. Menjelaskan pengertian dan pentingnya akhlak terpuji dalam pergaulan remaja
2. Mengidentifikasi bentuk dan contoh-contoh perilaku akhlak terpuji dalam pergaulan remaja
3. Menunjukkan nilai negatif akibat perilaku pergaulan remaja yang tidak sesuai dengan akhlak Islam dalam fenomena kehidupan
4. Menerapkan akhlak terpuji dalam pergaulan remaja dalam kehidupan sehari-hari

15. Menghindari perilaku tercela
1. Menjelaskan pengertian ishraf, tabdzir, dan fitnah
2. Mengidentifikasi bentuk dan contoh-contoh perbuatan ishraf, tabdzir dan fitnah
3. Menunjukkan nilai-nilai negatif akibat perbuatan ishraf, tabdzir dan fitnah
4. Membiasakan diri untuk menghindari perilaku ishraf, tabdzir dan fitnah

Sukabumi, 7 Januari 2010
Guru Aqidah Akhlak


Mulyawan S. Nugraha, M.Ag., M.Pd

NIP. 19770507 200012 1 001

Ahlan Wasahlan...

Selamat datang di blog saya. Blog ini akan secara khusus membicarakan tentang bahan materi ajar dan kuliah di MAN Cibadak dan juga STAI Sukabumi. Mudah-mudahan blog ini dapat lebih memudahkan interaksi dan komunikasi siswa/mahasiswa dengan guru/dosennya.